PENGHARGAAN TERHADAP BIDAN
Memadam Api di Batas Negeri
Nama :
Bidan Rosalinda Delin
Bidan : Sejak 1991
Lokasi : Desa Jenilu, Kec. Kakuluk Atapupu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur
Penghargaan : tenaga kesehatan terbaik NTT 2000
Bidan : Sejak 1991
Lokasi : Desa Jenilu, Kec. Kakuluk Atapupu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur
Penghargaan : tenaga kesehatan terbaik NTT 2000
Tantangan Budaya : Panggang Api
Bidan
Rosalinda Delin bertugas di Desa Jenilu, Kecamatan Kakuluk, Atapupu adalah
sebuah perkampungan nelayan di Kabupaten Belu, NTT. Desa ini hanya berjarak 12
kilometer dari perbatasan Timor Leste dan terdapat banyak eks pengungsi yang
masih tinggal di daerah tersebut dengan kondisi yang cukup memprihatinkan.
Di desa
ini terdapat budaya Panggang Api pasca-persalinan yang telah diwariskan secara
turun-temurun sejak jaman nenek moyang. Seusai melahirkan, ibu dan bayinya
dibaringkan sambil dipanasi bara api yang menyala dari kolong tempat tidur
selama 40 hari. Menurut orangtua, kebiasaan ini ditujukan untuk menghangatkan
badan ibu dan bayi.
Bidan
Rosalinda tergerak untuk menghapuskan budaya panggang api di wilayahnya dengan
memberikan sosialisasi ke rumah - rumah.
Meskipun
bertujuan baik, budaya Panggang Api mempunyai beberapa efek negative bagi
kesehatan ibu maupun bayi. Ibu melahirkan yang melakukan panggang api akan
terlihat pucat karena anemia dan mengeluarkan banyak keringat. Sementara bayi
yang baru dilahirkannya sangat rentan terkena gangguan pernapasan atau
pneumonia.
Melihat
permasalahan ini, Rosalinda Delin, bidan desa yang bertugas di Puskesmas
Atapupu- Belu merasa terpanggil untuk menghilangkan kebiasaan Panggang Api di
wilayahnya. Ia melakukan kunjungan kesetiap rumah ibu yang baru melahirkan
dengan memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahaya kebiasaan panggang
api ini.
Tidak hanya mendatangi rumah, Ibu Rosalinda Delin juga
memberikan pengarahan kepada segenap anggota keluarga ibu melahirkan. Mereka
dikumpulkan di suatu tempat untuk memanggang ikan bersama-sama. Dengana cara
bakar ikan seperti ini, bidan berusaha menganalogikan tubuh manusia yang
dipanggang api dengan seekor ikan yang dibakar. Apabila dipanaskan terus ikan
akan kering dan kehabisan darah, begitu pula tubuh manusia. Berkat usaha Ibu
Rosinda Delin, saat ini sudah tidak adalagi ibu melahirkan di Desa Jenilu yang
melakukan budaya Panggang Api.
SANKSI TERHADAP BIDAN
Kasus : Gara-Gara Divakum Bocah 3
Tahun Cuma Bisa Nangis
Jakarta - Pulang dan
melihat buah hati umumnya menjadi saat yang menggembirakan bagi seorang ibu.
Tapi tidak bagi Mesdiwanda. Ibu berumur 35 tahun itu justru selalu menangis
jika pulang dan melihat anaknya, Andreas. Andreas, buah hati Mesdiwanda telah
berusia 3 tahun 4 bulan. Di usia itu, anak kecil biasanya sudah pintar berlari
dan berbicara dengan ceriwis. Namun tidak demikian dengan Andreas. Ia tak
ubahnya masih seperti seorang bayi. Hanya bisa tidur dan menangis. Tangan Andreas
pun kaku dan tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk sekadar menyatakan
ingin buang air besar (BAB) atau kecil saja, Andreas tak bisa. "Saya suka
sedih kalau sampai di rumah. Saya nggak tega melihat dia belepotan kotoran
karena nggak bisa bilang ingin BAB," tutur Mesdiwanda.
Mesdiwanda, Senin
(6/9/2004) melaporkan kondisi anaknya itu ke Polda Metro Jaya atas dugaan
malpraktek terhadap bidan Herawati di RS Pasar Rebo. Herawati adalah bidan yang
membantu kelahiran Andreas pada 21 April 2001 lalu. Ibu yang tinggal Jl.
Perintis II Romawi, Cipayung, Jaktim menuturkan, Herawati melakukan vakum
sampai 3 kali saat membantu kelahiran Andreas. Akibat vakum itu, kepala Andreas
sampai terluka. Dokter Benyamin dari LBH Kesehatan yang mendampingi Mesdiwanda
menyatakan, Andreas mengalami kegeseran tempurung kepala akibat vakum sehingga
fungsi otaknya terganggu. Cemas dengan kondisi anaknya, Mesdi sempat menemui
dokter spesialis anak di RS Pasar Rebo. Dokter itu menganjurkan supaya Andreas
dioperasi dan dirujuk ke RSCM.
Namun di RSCM, dirujuk
lagi supaya operasi di RSPAD Gatot Subroto. Sayangnya ketika ke RSPAD Gatot
Subroto, pasangan Mesdi dengan Vimelson Sinaga sudah kehabisan dana. RSPAD
memberitahu harus membayar uang muka Rp 10 juta untuk operasi. Sebagai orang
yang kerjanya serabutan, pasangan itu tak memiliki biaya sebesar itu. Akhirnya
hingga kini Andreas belum juga dioperasi. Di tengah kebingungan itu, keluarga
itu akhirnya mengadu ke LBH Kesehatan dan kemudian menggugat bidan Herawati.
"Saya minta pertanggungjawaban RS supaya anak saya diobati. Saya ingin
anak saya bisa normal seperti anak lainnya," kata Mesdi sedih. Selain
orang tua Andreas, ikut melaporkan malpraktek ke Polda Metro Jaya Maena
Nurrochmah (25). Perempuan yang tinggal di Pondok Labu melaporkan dr. Muharyo,
dokter bedah dan dokter Hari Syarif di RS Setia Mitra Fatmawati. Maena sejak
kecil mengalami kesulitan buang air besar (BAB) karena urat syaraf pada usus
besarnya tidak bisa memberi tekanan. Umur 12 tahun, perempuan itu dioprasi di
RS Setia Mitra dengan oleh Muharyo. Setelah operasi itu kondisinya Maena
membaik. Tapi kemudian umur 23 tahun, kondisinya memburuk, perutnya sering
nyeri dan mengeras. Maena kembali ke RS yang sama. Dia kembali ditangani dokter
Muharyo. Sang dokter menyatakan Maena menderita kista di rahim. Selain dengan
dokter Muharyo, Maena juga bekonsultasi dengan dokter Hari. Sama dengan dokter
Muharyo, Hari juga memberi diagnosis yang sama, ada kista di rahim. Bulan Juni,
2002, Maena dioperasi untuk mengangkat kistanya. Tapi saat operasinya
berlangsung, dokter Hari menyatakan rahim bersih tak ada kista. Operasi
kemudian dibatalkan. Sedangkan dokter Muharyo menyatakan yang bermasalah usus
besar Maena. Katanya ada sisa kotoran yang mengendap setelah operasi pertama
tahun 1987. Namun sayangnya setelah operasi kedua itu kondisinya Maena justru
memburuk. Ia jadi susah buang air dan perutnya kembung. Selain itu di bekas
luka operasi ada benang yang tersisa sehingga menimbulkan luka kecil yang
kemudian melebar dan berdarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar